Skip to main content
Wensislaus Fatubun

    Wensislaus Fatubun

    Sebuah catatan tentang pendekatan kesehatan berbasis "perkawinan campur" antara ilmu antropologi dan ilmu kedokteran.
    Sebuah tulisan tentang wabah penyakit di Merauke, Papua dari studi sejarah dan antropologi.
    An anthropological document (documentary, text or interview) has as first aim, in my opinion, to represent a culture or a specific aspect of a culture in a “sincere” and “true” way. It might be curious the use of the adjectives “sincere”... more
    An anthropological document (documentary, text or interview) has as first aim, in my opinion, to represent a culture or a specific aspect of a culture in a “sincere” and “true” way. It might be curious the use of the adjectives “sincere” and “true”, but I think that it is important to distinguish truth from
    objectivity. A fact can be true, just because it happened, it is a concrete fact, but there can be many subjective ways to describe it and interpret it. A long debate about the impossibility of objectivity in an anthropological representation shows us how difficult it is to illustrate an aspect of a culture without interpreting it or depicting it in a subjective way. Every anthropologist introduces in his research a part of himself, his culture and his background, which interferes unavoidably with the objectivity of his research. I also wonder whether the anthropologist (probably unconsciously) shapes his film or his research report in a way that validates his theories or what he decides to “believe” and show. Probably when an anthropologist (or a film director) decides to study, to investigate and to represent a culture or a specific aspect of a society, he has a motivation or an original stimulus for the research, which could unawares distort the objectivity of the investigation.

    In this Essay, I will focus on a specific example of anthropological documenting: the representation of warfare and violence in Papuan population in two particular films: Dead Birds (1963) by Robert
    Gardner and Mama Tineke Returns Home (2015) by Wensislaus Fatubun. They are very different movies, and a deep comparison would need a very long analysis. My aim is not to develop a cinematographic analysis, rather to use these ethnological representations to highlight the differences
    in the representation of one single aspect in the same population: the warfare among the Papuans. I chose these among the numerous Papuan films because I think that the representation of warfare in these movies is extremely significant. Dead Birds, that I will discuss in the first part, is a famous movie for the history of Papua because it is the first documentary about Papua, and represents the “first contact” of the indigenous population with a cinematographic crew. It is a controversial movie
    and had many consequences for the representation of Papuans, because it created a specific image of indigenous people, which is still actual in the common imagination today. I will compare it with Mama Tineke Returns Home, a modern Papuan activist movie that I will analyse in the second part, with the aim to illustrate the main differences in the representation of violence and Papuan warfare, and to reflect about the consequences and the effects of this powerful “tool” of representation.
    Research Interests:
    Dalam tulisan "Arti sebuah nama: Penggunaan nama Papua untuk menggantikan Irian Jaya" ini, J.R. Mansoben memulai dengan sebuah gagasan teoritis bahwa pemakaian sebuah nama untuk menyebut seseorang atau suatu tempat penting merupakan... more
    Dalam tulisan "Arti sebuah nama: Penggunaan nama Papua untuk menggantikan Irian Jaya" ini, J.R. Mansoben memulai dengan sebuah gagasan teoritis bahwa pemakaian sebuah nama untuk menyebut seseorang atau suatu tempat penting merupakan simbol untuk menyatakan dan mengidentifikasi diri seseorang atau suatu tempat guna membedakannya dari orang lain atau tempat lain. Simbol-simbol, seperti nama memiliki tiga sifat, yakni kognitif, afektif dan konatif itu digunakan oleh manusia untuk menyatakan dan merepresentasi hal-hal yang nyata dan tidak nyata, serta digunakan untuk menstrandarisasi persepsi orang. Sifat kognitif dari simbol adalah memberikan arahan bagi perhatian orang dalam membuat pilihan atau menentukan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sifat afektif simbol adalah sifat membangkitkan emosi yang menggoncang perasaan dan sentimen. Simbol juga bersifat konotatif dalam arti mendorong orang untuk bereaksi atau melakukan tindakan tertentu. Berangkat dari gagasan teoretis di atas ini, J.R. Mansoben membagi tulisannya ini ke dalam empat sub bagian, yakni pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan kajian tentang keterangan-keterangan tertulis tentang nama Guinea, Papua, dan Irian Jaya, dan membahas nama-nama itu, serta ditutup dengan sebuah kesimpulan. Ia mendasarkan kajiannya ini pada keterangan-keterangan tertulis yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan dalam mengkaji nama-nama yang dipakai untuk menyebut orang dan provinsi di tanah Papua. Pemakaian nama-nama untuk tanah Papua didasarkan pada pertimbangan penyamaan dan julukan yang erat berhubungan dengan sejarah hubungan penduduk asli di tanah Papua dengan dunia luar. Sejarah kontak orang luar dengan penduduk asli Papua dibagi ke dalam tiga periode, yakni: Periode pertama antara abad ke-8 smpai abad ke-16. Pada periode ini, keterangan tertulis, sebagai berikut, pertama dari negara-nusa Sriwijaya yang menyatakan bahwa pada tahun 724 AD utusan kejaraan Sriwijaya menghadiahkan kepada kerajaan Tionghoa sejumlah hadia, termasuk seorang gadis Sengk'i. Pada tahun 1962, dalam bukunya Hindoe-Javaanche, Nederland en de Wereld, Kron menafsir dan menduga bahwa nama Sengk'i itu adalah sama dengan nama Zangge' atau Jangge' dalam bahasa Jawa itu adalah sebuatan untuk orang-orang ras negrito di Kepulauan Indonesia pada waktu itu, dan gadis Sengk'i itu berasal dari Nieuw Guinea. Kedua dari Marsudi, seorang Arab dimana dalam laporannya pada tahun 915 AD menyebut suatu lautan yang bernama Sanji. G.P. Rouffaer menafsir nama Sanji itu sama dengan Jangge' yang mana nama tersebut dihubungkan dengan orang negrito yang tidak lain adalah penduduk Nieuw Guinea. Ketiga dari Chau Yu, seorang musafir Tionghoa pada abad ke-13, dimana memperkenalkan nama Tung-ki untuk sebuah daerah di sebelah timur dari merupakan bagian dari kerajaan Kediri (Jawa Timur). Krom menduga nama Tung-ki itu sama dengan nama Jangge'. Keempat adalah dalam syair pujaan dari pujangga Prapanca untuk Raja Hayam Wuruk dan Kerajaan Majapahit pada tahun 1365 AD dimana menyebut nama, seperti Wwanim (sama dengan orang Onim, Fakfak), Seran (nama yang letak dekat Kaimana), dengan Wadan. Periode kedua antara abad ke-16 hingga abad ke-19. Pada periode ini diperkenalkan nama Papua ketika kontak pertama penduduk asli dengan orang Eropa. Tetapi ada polemik tentang asal kata Papua. George Windsor Earl (1853) berpendirian bahwa nama Papua berasal dari bahasa Melayu pua-pua yang berarti keriting, tetapi S. Muller dan kamus Marsden beranggapan bahwa kata Papua
    Research Interests:
    Research Interests: