The Wayback Machine - https://web.archive.org/web/20070929103245/http://kompas.com/kompas-cetak/0405/08/pilpres/1012861.htm

Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Bahasa
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Telekomunikasi
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Interior
Sorotan
Kesehatan
Teropong
Ekonomi Rakyat
Wisata
Bentara
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Pemilihan Presiden 2004
Sabtu, 08 Mei 2004

Wakil Presiden, antara Ada dan Tiada

"KALAU kemudian saya pribadi diminta jadi wakil presiden, pertanyaan yang mendasar adalah: apa sesungguhnya pekerjaan wapres itu? Ada tidak pekerjaan selain formulasi dan seremonial menggunting pita di mana-mana? Apakah saya masih bisa bermanfaat untuk Nahdlatul Ulama atau tidak? Apa pekerjaan saya untuk bangsa dan negara? Sampai setingkat mana kegunaannya? Masihkah saya meneriakkan pemberantasan korupsi demi Indonesia yang jaya dan merdeka?"

Pertanyaan itu diajukan karena ketika Hasyim Muzadi ditawari menjadi cawapres Megawati, sebetulnya masih banyak pekerjaan di NU yang masih harus dikerjakan oleh Hasyim. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tidak dijawab Megawati yang memberikan sambutan setelah Hasyim Muzadi.

Pertanyaan-pertanyaan semacam yang diajukan oleh Hasyim Muzadi ini sudah saatnya untuk direspons secara lebih serius, karena sejak Indonesia merdeka, fungsi, tugas, dan wewenang wapres tidak pernah benar-benar tegas dan jelas.

Terbukti sekarang, mencari seorang wapres bukanlah perkara mudah bagi para capres di era multipartai ini. Kalkulasi kekuatan politik yang dibawa oleh sang cawapres sekarang harus menjadi pertimbangan-bahkan pertimbangan utama-di samping kapabilitas dan akseptabilitasnya. Tarik- menarik politik antara presiden dan wapres dari kekuatan politik yang berbeda tersebut berpotensi menimbulkan persoalan yang berakibat pada terganggunya jalannya pemerintahan.

APABILA merujuk ke sejarah, dari sekian banyak wapres yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, Mohammad Hatta adalah wapres paling lengkap sosok dan kemampuannya yang pernah dimiliki Indonesia. Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah Syafii Maarif dalam bukunya Mencari Autentisitas (Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2004) menyatakan, dari sekian banyak tokoh bangsa yang dihormati dan dikaguminya, Bung Hatta adalah puncaknya.

Ia menyebut Bung Hatta sebagai, "...negarawan, pemikir, patriot, nasionalis, ekonom, dan moralis sejati. Semua atribut ini menyatu secara apik dalam kepribadiannya yang kukuh, teguh, dan tahan bantingan. Dalam ungkapan lain, Bung Hatta punya integritas pribadi yang luar biasa hebatnya...."(halaman 229).

Bung Hatta juga mengeluarkan kebijakan yang berdampak luas dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan nasional, yaitu mengeluarkan dua maklumat. Pertama, Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945 menyerahkan kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara kepada Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 juga ditandatangani Bung Hatta berisi anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.

Setelahnya, boleh dikatakan posisi wapres lebih berupa "ban serep" dari Presiden Soeharto. Namun, ada sejumlah wapres yang mendapat tugas-tugas khusus. Presiden Soeharto dan Wapres Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 27 Maret 1973 ketika mengumumkan kabinet, misalnya, menentukan bersama apa yang menjadi tugas presiden. Tugas umumnya seperti terdapat pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah membantu presiden dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Selain itu, Wapres Hamengku Buwono IX mendapat dua tugas khusus. Pertama, memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah dan mengusahakan pemecahan masalah-masalah yang perlu, yang menyangkut bidang tugas kesejahteraan rakyat. Kedua, melakukan pengawasan operasional pembangunan dengan bantuan departemen-departemen, dalam hal ini inspektur-inspektur jenderal dari departemen-departemen yang bersangkutan.

Sementara Sudharmono menjadi Koordinator Pengawasan Pembangunan ketika menjadi wapres. Sehubungan dengan itu, Sudharmono pada tanggal 31 Maret 1988 membuka Tromol Pos Nomor 5000 Jakarta Pusat 10000 untuk menerima informasi dan laporan dari masyarakat tentang penyimpangan oleh para pejabat/aparatur pemerintah, atau hambatan yang diamati atau dialami dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan.

Namun, tidak ada masalah yang signifikan terjadi antara presiden dan wapres pada masa Orde Baru itu. Masalah baru timbul ketika presiden dan wapres berasal dari partai politik seperti yang terjadi pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarnoputri.

Masalah bertambah pelik karena presiden berasal dari partai pemenang nomor tiga, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, sedangkan wapres berasal dari partai pemenang nomor satu, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ditambah lagi dengan keterbatasan kemampuan penglihatan Presiden Abdurrahman Wahid.

Ketika baru menjalani pemerintahannya, 24 Agustus 1999, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan akan membagi tugas dengan Wapres Megawati untuk menangani soal-soal mendesak. Masalah Aceh akan ditangani presiden, sedangkan soal Ambon ditugaskan kepada Wapres Megawati.

Dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 9 Agustus 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan menugaskan Wapres Megawati untuk melaksanakan tugas- tugas teknis pemerintahan sehari-hari, menyusun agenda kerja kabinet, dan menetapkan fokus dan prioritas pemerintahan yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan kepada presiden.

Penugasan Presiden Abdurrahman Wahid kepada Wapres Megawati waktu itu bahkan menimbulkan perdebatan di MPR pada tanggal 10 Agustus 2000, apakah melalui ketetapan MPR atau keputusan presiden (keppres). Akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres tentang Pelimpahan Tugas Teknis Pemerintahan dari Presiden Abdurrahman Wahid kepada Wapres Megawati Soekarnoputri.

Masalah seperti itu bukan khas Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari hasil kajian Center for Executive Institution Reform (Ceiref), lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan pada perjuangan reformasi lembaga dan struktur kekuasaan eksekutif. Menurut Direktur Dewan Eksekutif Ceiref Guspiabri Sumowigeno, di negara se-adidaya Amerika Serikat (AS) pun masalah hubungan presiden dan wapres itu belum selesai.

Menurut konstitusi AS, satu-satunya tugas wapres selain menggantikan presiden apabila berhalangan tetap adalah memimpin sidang Senat. Wapres akan menggantikan presiden apabila presiden meninggal, mengundurkan diri atau mengalami ketidakmampuan sementara.

"Hal ini berlaku sejak amandemen ke-25 tahun 1967. Pasal Konstitusi AS ini berlaku ketika Wapres George W Bush Senior menjabat tugas presiden selama delapan jam ketika Presiden Ronald Reagen dioperasi karena menderita kanker," tutur Guspiabri.

Pemerintahan Presiden Eisenhower menjadi tonggak sejarah, di mana mulai saat itu presiden meningkatkan tanggung jawab para wapres melampaui kebijakan tradisional yang sebelumnya berlaku.

Wapres AS saat ini memimpin komisi khusus dan gugus tugas khusus. Juga ditugaskan untuk lebih banyak misi domestik dan internasional, di samping tugas rutin melobi Kongres dan bertindak sebagai juru bicara pemerintah.

"Posisi wakil presiden (di AS) sering kali tidak dipandang sebagai kehormatan yang tinggi oleh mereka yang menduduki posisi itu. Dalam administrasi pemerintahan, wakil presiden sering digunakan hanya sebagai ban kelima atau ban serep," kata Guspiabri.

Derajat hubungan presiden dan wapres AS sebagai dua aktor politik penting AS, tidak selalu dekat dan harmonis. Beberapa wapres AS kenyataannya tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan kebijakan penting. Bahkan ketika bom atom dibuat, melalui Manhattan Project, Harry Truman sebagai wapres tidak pernah tahu ada proyek rahasia itu.

DARI paparan di atas tampak bahwa akhirnya fungsi, tugas, dan wewenang wapres sangat tergantung pada keinginan presiden dan kinerja wapres tergantung pada kemampuan dan kemauan pribadi yang bersangkutan. Bukan karena aturan yang baku dan jelas.

Kelemahan itu bermula dari konstitusi. Dalam UUD 1945, baik sebelum dan setelah perubahan, tidak secara tegas mengatur fungsi, tugas, dan wewenang wapres. Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 naskah asli hanya menyebutkan, "Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden." Rumusan yang sama juga tetap dipakai dalam UUD 1945 hasil perubahan. Dalam hasil pembahasan Komisi Konstitusi yang baru menyelesaikan tugasnya pada 6 Mei lalu juga tidak mengelaborasi soal wapres ini.

DPR sebetulnya pada tanggal 6 Maret 2001 silam sudah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Kepresidenan yang sayangnya sudah kedaluwarsa karena tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 hasil perubahan. Pemerintah sudah mengabaikan draf tersebut dan meminta agar disesuaikan dengan UUD 1945 hasil perubahan.

Namun, dalam draf lama RUU Lembaga Kepresidenan itu paling tidak tugas dan wewenang wapres sudah lebih dirinci dalam dua pasal, yaitu Pasal 5 dan Pasal 6 yang masih cukup aktual untuk dijadikan acuan. Di situ disebutkan, misalnya, tugas wapres secara umum adalah membantu dan/ atau mewakili tugas presiden di bidang kenegaraan dan pemerintahan.

Dalam melaksanakan tugas di bidang pemerintahan, wapres berwenang (a) melaksanakan tugas teknis pemerintahan sehari-hari, (b) menyusun agenda kerja kabinet dan menetapkan fokus atau prioritas kegiatan pemerintahan yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan kepada presiden. Selain itu, wapres berwenang melakukan tugas-tugas khusus di bidang kenegaraan yang diberikan oleh presiden. Tugas khusus itu diberikan apabila presiden berhalangan sementara atau dalam hal-hal yang dipandang perlu.

Meskipun demikian, dalam hal presiden berhalangan sementara, wapres melaksanakan tugas presiden. Berhalangan sementara yang dimaksud adalah bepergian ke luar negeri, sakit, dan/atau tidak diketahui keberadaannya karena berbagai sebab di luar kehendaknya.

Ceiref merekomendasi, kehadiran lembaga kepresidenan yang kuat diperlukan saat ini untuk menghasilkan pemerintahan yang mampu menghadirkan perubahan. Hal tersebut hanya bisa dilakukan manakala terbentuk koalisi politik inti berupa pasangan presiden dan wapres yang dapat bekerja sama. Masalahnya, di AS saja hubungan presiden dan wapresnya sering tidak harmonis meskipun mereka datang dari satu kekuatan politik yang sama. Bagaimana dengan Indonesia yang pasangan presiden dan wapresnya datang dari kelompok politik yang berbeda.

"Kita berharap akan terbentuk koalisi politik yang sehat dan terpilih pasangan presiden dan wapres yang mampu bekerja sama secara harmonis. Namun, itu tampaknya tidak akan mudah terjadi di Indonesia," ujar Guspiabri Sumowigeno.

Jadi, tampaknya solusi yang tersedia tak lain adalah sesegera mungkin melanjutkan pembahasan RUU Lembaga Kepresidenan yang tertunda tersebut sehingga dapat disahkan sebelum presiden dan wapres terpilih dilantik pada bulan November 2004. Dengan demikian, komplikasi politik yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan dari tugas dan wewenang wapres tersebut dapat diantisipasi sejak awal. (Subur Tjahjono)

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Wakil Presiden, antara Ada dan Tiada

·

MIMBAR DEMOKRASI



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS