The Wayback Machine - https://web.archive.org/web/20120630131527/http://melayuonline.com:80/ind/culture/dig/1626/bahasa-indonesia-memasyarakatkan-kembali-bahasa-pasar
 
Sabtu, 30 Juni 2012   |   Sabtu, 10 Sya'ban 1433 H
Pengunjung Online : 673
Hari ini : 6.923
Kemarin : 9.085
Minggu kemarin : 57.900
Bulan kemarin : 2.599.896
Anda pengunjung ke 95.655.089
Sejak 01 Muharam 1428
( 20 Januari 2007 )
IMAGE GALLERY
AGENDA
  • Belum ada data - dalam proses

 

Budaya Melayu

Bahasa Indonesia: Memasyarakatkan Kembali `Bahasa Pasar`?

1. Pengantar

Akhir-akhir ini, seiring dengan merangkaknya perubahan politik dan semakin diterimanya otonomi daerah, geliat bahasa daerah mulai semakin menampakkan wajahnya di hampir seluruh pelosok negeri. Di mana-mana terlihat ada usaha untuk membangkitkan kembali `martabat Daerah` yang dulu `diinjak-injak` Pusat.

Geliat itu tidak hanya meliputi sektor-sektor yang ramai dibicarakan seperti ekonomi, politik apalagi, ranah sosial budaya ataupun wacana kehidupan lainnya. Melainkan, ranah bahasa juga termasuk salah satu yang diperhitungkan. Riau, contohnya, sebagai salah satu propinsi yang berpenutur bahasa Melayu, mulai menggalakkan kembali penggunaan bahasa Melayu di banyak sektor kehidupan. Media semakin sering menggunakan kata-kata, yang konon berasal dari bahasa Melayu, bermastautin, marwah, dsb. Nama-nama jalan pun dibuatkan bahasa Melayunya, bahkan dengan menggunakan tulisan Arab Melayu, yang dulu nyaris hilang. Perkembangan terakhir, gejala tersebut mewabah ke dunia sastra di mana mulai banyak tulisan yang `bernuansa` Melayu (lihat gaya bahasa media beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Riau)

2. Kilas Napak Tilas: Sejarah Bahasa Indonesia

Kita lupakan Riau sejenak. Membicarakan politik di era-era sebelum kemerdekaan, membuat kita tidak luput dari sejarah bahasa Melayu, yang pada waktu Sumpah Pemuda dikukuhkan sebagai bahasa Indonesia. Entah itu ide siapa, yang jelas, peserta kongres pemuda waktu itu menerima pengukuhan tersebut bersama-sama. Tidak pernah terdengar, ada suara dari peserta kongres yang menolak pengakuan terhadap bahasa Indonesia.

Meskipun demikian, penyebutan bahasa Melayu secara tegas baru dilakukan oleh para peserta kongres bahasa ke-II di Medan, pada tahun 1954. Atau lebih kurang sembilan tahun setelah Indonesia merdeka.

Di sisi lain, memang ditemukan ada bahasa yang lebih banyak penuturnya dari bahasa Melayu yang diakui itu. Barangkali, inilah sebabnya tidak ada upaya dari tokoh-tokoh politik kala itu untuk mengangkat asal-muasal bahasa Indonesia. Baru ketika situasi mulai agak reda, persoalan bahasa Indonesia ini dibicarakan kembali.

Pernyataan tentang situasi yang agak reda ini tentu saja berkaitan dengan isu politik, di mana pada Oktober 1928 bangsa ini masih memerlukan persatuan nasional yang lebih padu ketika itu. Persatuan nasional masih rentan terhadap berbagai keretakan-keretakan yang jika tidak dikelola dengan baik, akan menghantarkan bangsa ini tidak hanya terpuruk dalam perdebatan (bahasa) siapa yang mesti digunakan secara nasional (lebih dari 700 bahasa di Indonesia saat ini), tetapi juga akan semakin lemah di hadapan penjajah, sehingga jangankan ada bahasa nasional Negara Indonesia saja belum tentu ada.

Hanya saja, tidak begitu banyak yang bisa kita gali dari sejarah perjalanan bahasa Melayu ini menjadi bahasa Indonesia. Bahkan sebuah buku yang ingin mengungkap sejarah bahasa Indonesia yang pernah dikarang oleh Pramoedya Ananta Toer, malah dibakar pada 13 Oktober 1965 oleh pihak penguasa pada waktu itu.

Sebetulnya, kita tidak dapat melupakan jasa para tokoh pergerakan nasional atas terpilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional `tanpa perlawanan`. Kuntjaraningrat mencatat bahwa banyak dari tokoh ini yang enggan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi, terutama waktu acara-acara resmi. Kenyataan bahwa bahasa Jawa memiliki unggah-ungguh (speech level) membuat mereka lebih menggunakan bahasa Melayu, karena dianggap lebih komunikatif. Terutama di kalangan sesama para tokoh yang berasal dari Jawa. Sementara itu, peranan bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca (bahasa penghubung) di Nusantara juga mempertebal kesadaran pentingnya bahasa Melayu diakomodasi sebagai bahasa nasional, dan bukan bahasa yang lain.   

3. Melayu Pasar vs Melayu Tinggi

Sesungguhnya perdebatan ini telah lama dimulai. Bahkan perdebatan ini begitu digemari oleh para sastrawan, ahli bahasa dan pakar sejarah. Jika benar bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, bahasa Melayu manakah yang `menurunkan` (sengaja tidak disebut melahirkan karena bahasa Melayu tidak mati seperti bahasa Latin) bahasa Indonesia itu? Melayu Tinggikah, ataukah Melayu Pasar yang juga disebut Melayu Rendah?

Bahasa Melayu Tinggi sendiri memiliki pengertian bahasa Melayu yang biasa dipakai oleh kalangan istana. Bahasa Melayu ini digunakan oleh Kesultanan Johor-Riau dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Kesultanan Lingga-Riau. Hampir bisa dikatakan bahwa penggunaan bahasa ini terbatas di kalangan mereka dan para sarjana. Sementara itu bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari dalam pergaulan di masyarakat, dalam berjual-beli dsb, disebut sebagai bahasa Melayu Rendah. Penyebutan ini dikarenakan bahasa tersebut tidak tunduk terhadap kaidah-kaidah bahasa yang baku, seperti yang tertulis dalam kitab-kitab klasik. Namun, di era-era menjelang abad dua puluh bahasa Melayu Rendah ini banyak ditemukan di media-media massa yang terbit kala itu.

Adalah Remy Silado, salah satu pentolan sastrawan tahun 70-an, yang menganggap bahwa bahasa Melayu Pasarlah yang menjadi cikal-bakal bahasa Indonesia. Ia mengatakan banyak kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu Pasar dibakukan menjadi bahasa Indonesia, seperti kata permaisuri yang pada bahasa asal (Sanskerta) berbunyi /paramaisyari/. Bentuk kata ini menjadi bukti bahwa kata tersebut belum dibakukan ketika masuk ke dalam bahasa Indonesia. (Hal ini kembali mencuat ketika perdebatan tentang bahasa Indonesia popular kembali dihadapkan secara berdepan-depan dengan bahasa Indonesia baku, dan apakah demi yang satu yang lain harus diberangus).

Tidak sejalan dengan itu, Anwar, seorang peneliti bahasa, melihat bahwa bahasa Melayu Tinggilah yang diangkat menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu tersebut bisa menjadi bahasa nasional karena lebih demokratis, tidak mengenal perbedaan-perbedaan kelas, dan tidak terlalu didominasi oleh kalangan istana.  

Dalam pandangannya itu, Anwar menjelaskan bahwa terdapat satu fase di antara bahasa Melayu Klasik (sebagai bahasa istana) dan bahasa Melayu ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Melayu istana tidak mungkin, menurutnya, menjadi bahasa nasional karena tidak mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada, di samping sifatnya yang istanasentris. Anwar menyebut fase itu sebagai fase di mana bahasa Melayu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada. Atas sebab-sebab inilah, tercetus sumpah pemuda 1928 yang mengakui bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional.

Keberterimaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari peranan para penulis, sejarawan, sastrawan dan kaum cerdik-pandai Melayu yang telah menulis dan menggunakan bahasa Melayu sebagai media tulisannya, pada masa Melayu Klasik. Bahkan, Raja Ali Haji (1808-1873 M) telah menulis buku tatabahasa Melayu, yang berjudul Pedoman Bahasa semasa hidupnya meski tidak rampung. Di samping itu, ia pun menulis kamus Melayu yang diberinya nama Kitab Pengetahuan Bahasa.  Tulisan-tulisan Raja Ali Haji dan semacamnya inilah yang dijadikan acuan ketika Ophuisjen pertama kali menulis buku tatabahasa Melayu. Penulisan tatabahasa itu menjadi mudah dilakukan karena memiliki standar penggunaan bahasa yang jelas dan tertulis, tanpa itu barangkali bahasa Melayu sampai saat ini tidaklah akan berarti apa-apa dalam kancah berkebangsaan secara nasional.

4. Bahasa Melayu Balai Pustaka

Jumlah 1,2 juta jiwa penduduk Melayu Riau pada 1930-an ternyata tidak menyebabkan lunturnya arti penting bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan bila dibandingkan dengan bahasa Jawa yang sudah memiliki 42 juta penutur pada waktu bersamaan. Setidaknya itulah yang terjadi pada waktu sumpah pemuda dicetuskan  tahun 1928.

Sesudah itu, ada `pengawalan` terhadap pengukuhan tersebut. Terbitnya berbagai media massa berbahasa Melayu memang sudah diawali sebelum sumpah pemuda, akan tetapi pasca sumpah pemuda penerbitan surat kabar berbahasa Melayu menjadi lebih marak dibandingkan dengan waktu sebelumnya.

Salah satu angkatan yang paling berpengaruh membentuk cita rasa berbahasa Melayu yang `Indonesianis` ketika itu adalah angkatan balai pustaka. Mereka ini terdiri dari para penulis handal yang bekerja di balai pustaka, sebuah badan yang semula didirikan Belanda untuk menopang penjajahannya dalam dunia tulis-menulis. Mereka inilah yang berperan memajukan bahasa Melayu Riau menjadi sebuah bahasa Indonesia yang mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Karya-karya yang mereka tulis banyak menggunakan bahasa Melayu Tinggi yang telah menjadi bahasa Indonesia itu sebagai medianya.

`Saingan` satu-satunya ketika itu ternyata bukan bahasa Jawa, akan tetapi bahasa kolonial Belanda. Orang Belanda tidak terlalu pintar berbicara dalam bahasa Melayu, sehingga yang mereka gunakan adalah bahasa Belanda. Namun demikian, bahasa Melayu sudah dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah meskipun bahasa Belanda masih diajarkan. Akibatnya, para sarjana pada waktu itu terbagi ke dalam dua kubu; kubu yang lebih menyukai bahasa Belanda untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dan kurang begitu tertarik menggunakan bahasa Melayu sebagai media untuk itu, dan kubu yang lebih berhasrat untuk memartabatkan bahasa Melayu dengan tetap menggunakannya dalam pertemuan-pertemuan resmi dsb, di samping mencoba menyesuaikannya dengan perkembangan wacana mutakhir.

Sebelum ditutup, tulisan ini juga melihat perkembangan bahasa Melayu Jakarta (bahasa Betawi) pasca dilepaskannya kran demokrasi pada tahun 1998. Peranan media yang mengakomodasi bahasa tersebut dalam ruang-ruangnya, mengakibatkan ia diterima secara luas oleh masyarakat. Bahkan, bahasa itu dilekatkan dengan bahasa kalangan perkotaan, kaum muda, untuk dihadap-hadapkan secara berdepan-depan dengan bahasa Indonesia baku yang identik dengan bahasa sarjana, bahasa buku yang kaku dan tidak luwes digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 

5. Simpul Ungkai

Apabila boleh menarik simpul permasalahan kembali, bahasa Melayu ternyata telah mengantarkan kita kepada penjara selamat yang tidak mampu `menjerat` berbagai bangsa di dunia. Penjara selamat karena kita telah terselamatkan dari salah satu sumber perpecahan dan persengketaan, berkat diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Akan tetapi, di sisi lain bahasa ternyata bisa menjadi sebuah penjara lain di luar perpecahan dan perseteruan antar anakbangsa itu. Nama penjara itu adalah keterpasungan. Dengan berkutat kepada bahasa Melayu saja, barangkali bahasa Indonesia tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Sumbangan-sumbangan dari bahasa lain di luar bahasa Melayu bagaimanapun juga tetap diperlukan. Mari kita lihat, akankah kejayaan Melayu Kuna (dengan penyesuaian cantik bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskerta) dan Melayu Klasik (dengan penerimaan yang luar biasa terhadap pengaruh bahasa Arab) dapat diwujudkan kembali oleh bahasa Melayu saat ini? Dan hal itu tergantung dari bagaimana sikap bahasa Melayu/Indonesia terhadap fenomena bahasa popular, bahasa asing dan bahasa daerah di sekelilingnya.

(SR/bhs/43/08-07)

Sumber:

  • Anwar, Khaidir. 2007. “Sumbangan Bahasa Melayu Riau kepada Bahasa Indonesia” dalam Masyarakat Melayu, Budaya Melayu dan Perubahannya (ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra).
  • Koentjaraningrat. 2007. “Bahasa Melayu, Bahasa Nasional, dan Bahasa Jawa”. dalam Masyarakat Melayu, Budaya Melayu dan Perubahannya (ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra).
  • www.id.wikipedia.org
  • Anonim. 2007. “Sekilas tentang Sejarah Bahasa Indonesia”. (www.pusatbahasa.depdiknas.go.id).
  • Anonim. 2007. “Sejarah Bahasa Indonesia”. (maigo.sfc.keio.ac.jp)
  • Remy Sylado. 2004. “Bahasa Televisi Harus Luwes” (www.gatra.com).
  • (Gatra, 29 Juli 2004)
  • Anonim. 2007. “Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
  • Koh Young Hun. “Dunia Melayu Yang Tersirat Dalam Tetralogi Bumi Manusia Pramoedya” (www.radix.net)
Dibaca : 8.670 kali.

Berikan komentar anda :

Silakan Login Untuk Komentar

Silakan Login atau Mendaftar terlebih dahulu jika anda belum menjadi anggota.

 Kolom untuk yang sudah menjadi member
Email
Password